SEPEDA IJAL
Sepeda tua itu tidak dikayuhnya lagi, hanya dihelanya dengan kedua tangannya, tas plastik berisi buku pelajaran digantungkannya di stang sepeda di sebelah kiri. Aku menyapanya" sepedamu mengulah lagi Zal? Ya nama muridku ini Rizal, dan sapaannya di desa ini dipanggi Ijal."ya bu, rantainya putus lagi”. Aku melirik rantai sepedanya yang sudah berkarat. Terbersit niatku mengajaknya ke bengkel Yong Dolah di pertigaan jalan tanah menuju ke rumah sewa ku." Zal kita singgah di bengkel Yong Dolah yok, ibu juga mau istirahat sejenak, letih rasa badan ibu" . Pemuda ingusan beranjak remaja itu hanya tersenyum dan mengangguk tanpa bersuara.
Sesampainya kami di bengkel sepeda Yong Dolah, dan satu satunya bengkel yang ada di desa
tersebut. Aku menyandarkan sepedaku di tiang tua penyangga atap bengkel sepeda
yg terbuat dari batang pinang, atapnya terbuat dari susunan jalinan daun
rumbia, kental dengan aroma rokok." Ha, ngape pulak sepeda dikau ni jal ,
sampai bu guru pun ikot ke sini, ape pasal?” , lelaki paruh baya itu mengusap
kepala Rizal, ya bocah ini anak yatim yang selalu jadi perhatian kasih sayang
orang kampung. Menurut ajaran Islam anak yatim menjadi tanggung jawab warga
sesama muslim, dan aku rasakan itu. Dengan cekatan yong Dolah mulai memperbaiki
rantai sepeda tua Rizal, aroma angin laut di awal senja dimusim kemarau ini sudah
terasa, dan semilir anginnya lembab menerpa wajahku.
Aku hanya mengamati Yong Dolah membongkar rantai sepeda tua Rizal yang sudah mulai
keropos.
“ Macam mana lagi
tuk, sepeda ni dah tua, sering pula terendam air laut pasang”. Jembatan dari
batang pinang tu dah tak ade lagi tuk, makanya aku menyeberangi anak sungai tak
di atas titian, ku ceburkan saja sepedaku melintasi air pasang. Dua hari yang
lalu aku tak sekolah, tak sanggup aku melintasi air surut di anak sungai tu
tuk, ada yang menunggu lintasan itu”.
”heeem,, tidur lagi dia di sana?, tak kau usir Jal?”.
“ manalah aku berani
tuk, salah-salah aku diterkam dia,, besar badannya tuk”
Mentari sudah di ufuk barat, warna jingganya sudah menerpa atap rumbia bengkel sepeda Yong Dolah, rantai sepeda Rizal yang putus sudah mulai tersambung. Kasihan sepedanya yang karatan harus tetap berderik ketika dayungan sepeda itu digerakkan. Aku jadi memahami, sepeda tuanya semakin ringkih karena harus mengarungi dan melintasi anak sungai yang dialiri aliran air asin dari Laut Bengkalis. Aku memandang sepedaku yang kubeli secara angsuran ke tukang kredit di Desa Sukajadi, Aci Suan wanita paruh baya yang punya usaha kedai kelontong dan menjual segala macam kebutuhan rumah tangga dan kebutuhan obat-obatan yang dijual bebas di kampung ini. Sepedaku masih aman dan terjaga, karena dari rumah sewaku menuju ke sekolah tempat aku mengajar tidak perlu mengarungi anak sungai. Jalannya cukup mulus walaupun sebahagian jalan tanpa aspal.
Ku lihat Rizal sudah duduk di atas sepedanya dan bergegas kembali turun dari sepedanya untuk menyalamiku dan mengucapkan terimakasih.” Tabik bu, terimakasih” . Kami beriringan mengayuh sepeda, kayuhan sepedaku terasa ringan karena sudah melihat senyum dari bibir Rizal, derit dayungan sepedanya masih tersisa. Rizal mengayuh sepeda dengan berirama, tak terasa kami akan berpisang, dipertigaan jalan ini aku harus berbelok ke kanan, sementara Rizal melanjutkan perjalanannya ke desanya yang berjarak 3 kilometer dari desaku tempat mengabdi.
Angin laut terasa semilir menerpa wajahku, semburat jingga samar menjilati jalan tanah yang mengering dan retak-retak jika cuaca panas, dan bagaikan kubangan kerbau jika hujan turun. Aku terus mendayung sepedaku, jarak satu rumah penduduk dengan lainnya berjarak tujuh ratus meter sampai 1 kilo meter. Setiap rumah memiliki bangku panjang yang terbuat dari papan dan di depannya disediakan tiang-tiang untuk lampu colok penerang halaman rumah, sinar lampu colok juga sebagai penerang jalan dimalam.
‘Dah balek sekolah bu guru?” sapa bu Rohana yang sedang
menarik pelepah pinang di halaman rumahnya yang cukup luas. Aku mengangguk dan
tersenyum sambil melambaikan tangan kananku. Penduduk desa Sukajadi mayoritas
petani yang menanam pohon pinang dan karet, penduduk menyebutnya batang getah.
Pelepah pinang yang sudah tua dijadikan pembungkus penganan yang cukup populer
di kalangan masyarakat Riau, dan menjadi buah tangan bagi pelancong yang
berkunjung ke Desa Sukajadi, yang disebut dengan Lempuk Durian,. Para istri
petani membantu suami mereka dengan membersihkan pelepah pinang untuk dijadikan
pembungkus lempuk durian, dan pelepah pinang yang sudah dibersihkan dari serat
pelepah yang kasar, digunting sesuai ukuran dan dilipat dengan rapi. Setelah
terkumpul cukup banyak, pelepah pinang yang sudah diolah akan dijual pada Acik
Suan, pemilik Toko Surya yang berada diseberang Masjid di desa Sukajadi.
Sepeda kukayuh menuju Toko Acik Asuan untuk membayar
angsuran sepedaku, dan membeli keperluan harianku, dan tidak lupa minyak tanah
sebanyak 2 liter. Sebelum pergi mengajar, galon minyak tanah sudah kutinggalkan
di toko Surya milik Acik Suan.
“ Dah balik dari sekolah bu Gulu?’ sapa Acik Suan padaku.
Aku mengangguk sambil turun dari sepedaku.
“ dah diisi galon minyak tanah saya Cik? Tanyaku sambil
menyusuri ke dalam toko yang masih gelap.
“ sudah lah, eh, kejap, oe liat dulu ya”, katanya sambil
bergegas menuju drum tampungan minyak tanah yang terletak di belakang toko
kelontongnya.
“ Ada gula merah tak Cik? tanyaku sambil memilih tomat dan
timun yang akan kuolah untuk makan malam nanti.
“ Dah habis, belum ada diantar A Long” jawabnya sambil
menenteng galon minyak tanah yang kutitipkan tadi pagi, Along penjual gula aren
yang selalu mendatangi warung atau toko yang ada di Desa.
” Nak buat apa bu Gulu?” tanyanya sambil tersenyum
menampakkan giginya yang sudah tak utuh lagi.
“ nak buat bubur sagu, esok hari minggu saya agak santai
sikit lah” jawabku dengan bahasa daerah pesisir. “Tak ada gula tak jadilah, tak
sedap rase die kalau tak pakai gule merah” jawabku.
“ Halaaah, tak teras hari sudah habis pula satu minggu, esok
dah hari minggu pulak” jawab Acik Suan. Tomat dan timun yang kupilih
ditimbangnya.
“ Oke cik gu, semue belanja Rp 15.200”. aku membayar
belanjaanku dengan uang pas.
“Jadi tak nak bayar angsuran sepedanya cik gu?” tanyanya
padaku.
“Eh, maaf saye lupe, asik bebual jeee...”, kusodorkan 1
lembar uang ratusan dan 1 lembar uang lima puluh ribu rupiah padanya, kemudian
dikembalikannya uang ku sebanyak Rp25.000,-.
“Angsuran saye tinggal dua bulan lagi ya Cik? Tanyaku. Acik
Suan mengangguk sambil membuat catatan pada buku yang disediakannya untuk para
langganan yang berhutang.
Aku
berjalan menuju sepeda yang kusandarkan di tiang kayu di depan kedai acik Suan
sambil minta izin pamit pulang ke rumah sewaku. Perlahan kudayung sepeda yang 2
bulan lagi akan lunas pembayarannya . jarak kedai Suan dengan rumahku hanya
berjarak 100 meter, dari kedei sudah tampaklah rumah sewaku yang ditanami
berjejer pohon pinang dan diselingi dengan beberapa batang pisang dan bunga
kembang sepatu di halaman rumah yang berfungsi sebagai pagar dan tanaman obat
bagi penduduk kampung.
Ha, ngape pulak sepeda dikau ni jal,
BalasHapusDah tue pak cik,,,, belikan lah sepeda baru,,,kesian, budak yatim tu,,,hihihi,,,terimakasih pak, sudah singgah di blog saya...
HapusSepeda tua itu bnyk cerita yg dilaluinya Buk... Keyennn lah ibuk ni
BalasHapuskita akan gali banyak tentang sepeda tua
HapusMane budak Ijal tu....? Tak ade lagi nampak di kampong kite ne....dah ke rantau lain kah? 🤭😊😆
BalasHapus