Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Bambu

Perahu yang didayung Rizal terasa mendayu-dayu ditengah hempasan ombak tersebab ponton balak kayu melintasi kami. Mataku serasa berat , semilir angin dan ayunan sampan membuat mataku sukar untuk diajak kompromi. Rizal sudah mengantongi 2 kg udang galah. 

Inong lebih banyak lagi, ada 3 kg udang galah dan beberapa ikan sembilang, sementara aku hanya beberapa ekor ikan sembilang dan satu ekor udang galah ukuran sedang. Perahu terus didayung Inong dan Rizal, senja sudah menepi, semburat senja memucat, pertanda maghrib akan menjelang.

Perahu mulai menepi di dermaga nelayan yang sederhana, tumpukan tali temali perahu yang menepi di dermaga mengisyaratkan sudah banyak nelayan yang pulang dengan membawa hasil melaut sesuai takaran dari Allah. 

Aku mulai berdiri melangkah diantara tumpukan kantong ikan Rizal dan Inong, ada rasa bahagia dan lega setelah menikmati suasana perairan Bukit Batu, desa pesisir yang syarat dengat kisah heroik dan peperangan di zaman Kolonial.

Langkahku terhenti ketika kudengar sapaan Atan, menanyakan berapa banyak hasil tangkapanku. Aku hanya mengankat kantong yang berisi beberapa ekor udang dan ikan. Atan membantuku melangkahi sampan Tuk Kocai.

Kakiku tergelincir ketika memijak batang bambu sebesar paha lelaki dewasa yang tergeletak di sampan Tuk Kocai, kantong yang kupegang berisi ikan terpental ke laut dan hilang. 

Hampir saja aku terjatuh, masih untung Inong memegang pundakku, terbayang sudah mulut buaya kan menerkamku, saat serap senja ini buaya selalu menampakkan taringnya. 

Penulis : lasia kabran. 

Posting Komentar untuk "Bambu"