Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Malam tujuh likur

Buka bersama merupakan budaya yang dilakukan dalam rangka mempererat silaturrahmi. Seminggu jelang akhir Ramadhan suasana desa Sukajadi lebih sibuk dan meriah. Ramadhan yang ke- duapuluh tujuh ditaja dengan meriah di Masjid Muthmainnah.

 Berbuka bersama dan acara Nuzul Al-Quran. Pintu gerbang Masji dibuat indah bercahaya dengan ratusan lampu colok membentuk miniatur masjid. Aroma asap setiap melintas dibawah gerbang itu mengingatkan suasana pedesaan yang tentram.

Muridku A-Ling, Suan Lie, Inong singgah kerumah, tujuan yang sama memenuhi undangan kepala desa buka bersama, dilanjutkan Taraweh dan acara Nuzul Quran. 

Ustad yang didatangkan dari ibu kota kabupaten menyeru warga beramai-ramai ke Masjid. Senja ini aku menawari Aling dan Suan Lie ikut, dan aku tau keinginannya untuk berkumpul dengan temannya disuasana berbeda. 

Walaupun muridku bukan muslim, kegiatan keagamaan selalu diikutinya, begitupun sebaliknya, anak-anak kampung ini akan riuh rendah menikmati Tahun baru Cina, Cap Go Meh yang mereka tunggu, bahkan sehari sebelum hari H, mereka diliburkan.

A-Ling menggandeng tanganku sambil bercerita serunya dia membuat biscuit lebaran untukku, begitu juga Suan Lie mengemukakan keinginnanya makan ketupat serundeng, ciri khas masakan Melayu. 

Pembicaraan seru itu terhenti, ketika Intan berlari mendekatiku dan diikuti ayahnya Hasan. “Honey, Intan ingin malam ini makan Sahur di rumah mu, bolehkah?” Selalu mencari kesempatan ingin menjumpaiku dengan tameng anaknya Intan, batinku. Penulis : Lasia Kabran

Posting Komentar untuk "Malam tujuh likur"