Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Satu Syawal

Malam terakhir Ramadhan terasa sendu dan membalur sedih di hati, bulan yang selalu ditunggu setiap tahun akan berakhir. Gaung takbir Masjid Muthmainnah dari rumahku terdengar syahdu, rebak airmataku  mengenang kebersamaanku dengan ibu dan ayah semasa beliau masih ada. Takbir yang meralung jiwa.

Kesendirianku dimalam takbir ini terpecah ketika seruan Atan di pintu dapur, “Buuuk, mak buat lemang tadi siang, ni sebatang untuk ibu” aku menerima lemang yang dibawa Atan. Ramai suasana takbir di desa Sukajadi terasa semakin meriah ketika arak-arakan warga kampung mebawa obor yang mereka buat sendiri. 

Suara beduk yang dihela gerobak terdengar bertalu-talu. Kulongokkan kepala dari jendela dapur, hanya ingin melihat keramaian penduduk kampung yang berarak mengelilingi jalan desa dengan gaung takbir yang tiada henti dan kemilau api obor. 

Ada Aling berbaris diurutan terakhir, beriringan jalan dengan Mak Siti dan Suan Lie,gadis bermarga Lie yang selalu ikut acara keramaian kampung mereka melambaikan tangannya ke arahku. “Besok pagi satu Syawal jangan lupe ke rumah ibu ye” ucapku pada mereka.

Selesai sholat Ied, penduduk kembali ke rumah masing-masing, begitupun aku. Inong mengantarkan rendang ayam kampung yang dimasak ibunya , lemang yang diantar Atan kuletakkan dipiring, rencananya akan kumakan dengan rendang, tak sabar rasanya menikmati penganan kampung ini. 

Ketukan pintu mengalihkan perhatianku, Aling datang dengan seorang laki-laki paruh baya. “Bu ini pak Syawal, yang ibu suruh datang pagi ini”

Penulis : Lasia Kabran

Posting Komentar untuk "Satu Syawal"