Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Cik Gu

Akhirnya mini bus yang kutumpangi berhenti di depan rumah panggung bercat hijau, menurunkan aku di rumah bu Jusna,tidak jauh dari balai desa. Bu Jusna masih kerabat dengan dosenku bu Harni. Aku memberikan sepucuk amplop yang berisi surat dari bu Harni untuk bu Jusni.

Wanita sederhana ini mempersilahkan aku masuk ke rumahnya  yang tertata bersih dan rapi. Surat yang ditangannya dibaca dengan saksama. Lalu dia mempertegas isi surat itu dengan bertanya apakah aku guru baru itu? Dan aku mengaggukkan kepala, seulas senyum lelahku menyertai anggukan kepalaku.

Tas tangan, koper dan beberapa kotak makanan diturunkan pak supir. Aku mengeluarkan penganan titipan ibuku untuk bu Jusni, dan diterimanya dengan mengucapkan terimakasih. Bu Jusni wanita paruh baya seumur ibuku, masih sendiri dan belum pernah menikah, namun mengasuh sepasang anak adiknya, yang saat ini sekolah di Pesantrean yang tak jauh dari kampung ini.

Sayup terdengar bunyi bedug bertalu-talu, pertanda waktu Maghrib tiba. Suara bedug yang lama tak ku dengar merupakan irama syahdu yang mengingatkan aku akan ayahku. Bu Jusni mengajak aku untuk sholat maghrib di Masjid Nurul Hikmah. Kami berdua melintasi anak sungai yang airnya bermuara ke laut Bengkalis, Mentari di ufuk barat memancarkan warna jingga yang heroik dan romantic. Bu Jusni memperkenalkan aku pada setiap warga yang berpapasan, dan mereka menyapaku Cik Gu.(lasiakabran) 

2 komentar untuk "Cik Gu"