Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Tesapo


"Pagi dokter Risya" sapaan manis itu selalu terdengar setiap aku melintasi bangsal F, memeriksa dan mengunjungi beberapa pasien yang memang sedang kutangani. Doni, pemuda usia 23 tahun yang diantar keluarganya untuk penyembuhan. “Dokter, pinjamkan aku HPnya, aku mau telpon kakakku, ngapa dia tak datang, aku sudah lama menunggunya, nanti bilang sama dia aku minta dijemput" setiap aku melintasi dan berhenti sejenak di depan bangsal Doni, ucapan yang sama keluar dari bibirnya.

Pagi ini langkahku terhenti ketika Dita menjerit dengan lantang, "woi dokter jelek, kasilah aku uang sewu, mau beli goreng, aku tak ada dikasi makan orang ni, aku tak gila, kau yang gila" tetap kalimat yang sama diulanginya. Ibu muda yang diantar keluarganya, karena selalu berhalusinasi, berbicara sendiri, dan sesekali mengamuk tanpa sebab setalah melahirkan anak pertama.

Awal aku praktik di RSJ, ada perasaan gamang mendengar teriakan pasien ngamuk, dan meracau tak tentu. Namun setelah dijalani beberapa hari, rasa takut itu berbalik menjadi iba, terkadang tanpa kusadari air mataku rebak ketika aku ajak mereka ngobrol sambil membuat catatan riwayatnya sehingga mendekam di RSJ ini. Pagi ini pak Rahmat lelaki usia 65 tahun, duduk diam dan tak bergerak dari bangku tua yang selalu didudukinya, susah untuk diajak ngobrol, matanya menerawang jauh.

Ketika dikunjungi anaknya matanya hanya menatap beku, dan mengangguk sekedarnya ketika anaknya bercerita suasana kampung. " Dokter, ayah kami ini diam seperti ini semenjak jatuh dari pohon nira, demam beberapa hari, setelah demamnya pulih, dia selalu duduk menyendiri dan diam membisu, seperti tak mengenal lingkungannya, kata orang kampung ayah kami ni tesapo" dan aku hanya tersenyum melanjutkan catatan observasiku tentang pak Rahmat. (Lasia kabran)

Posting Komentar untuk "Tesapo"