Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Pejuang Kecil



Sinar mentari condong ke barat menyinari bibir pantai dengan warna jingganya yang memudar, Minggu senja biasa kuhabiskan waktuku dengan duduk di bibir pantai. Ku lihat dari kejauhan, burung camar menyambar ikan terubuk yang dibawa obak ke pantai, sinar mentari  kembali keperaduan, sinarnya silau menerjang mataku. Dari kejauhan kulihat rombongan anak-anak berlarian di pinggir pantai sambil membawa karung yang disandang di pundaknya. Aku hanya termangu melihat  anak-anak usia 7 sampai 10 tahun berjejer memungut sampah botol plastik bekas minuman.

Pemandangan diunjung senja yang mulai temaran meninggalkan jalinan pertanyaan di benakku. Apakah diantara mereka ada Rizal, bocah yatim yang sudah 5 hari tidak kulihat batang hidungnya, baik disepanjang jalan menuju sekolah, maupun di halaman sekolah SD Negeri 11. Dimanakah anak yatim itu sekarang? Apa yang dikerjakannya? Atau sakitkah dia? Pertanyaan  demi pertanyaan bergelimang dalam benakku. Nanar kutatap rombongan anak-anak tersebut, tak kutemukan sosok Rizal, tubuh kurus tinggi dan kulit legam  dengan rambut ikal yang warnanya memerah dikarenakan seringnya disengat matahari, mata tajam yang mengisaratkan ketajaman pikirannya, ya... anak cerdas itu  tak kutemukan diantara mereka, anak- anak pemulung yang berkelompok bermain sambil mengais sampah plasik yang bertebaran di sepanjang pantai, dan hasil penjualan botol dan gelas plastik itu biasa dijadikan uang sebagai penyambung hidup mereka.....

Ada yang hilang dalam rongga hatiku, lima hari sudah terlewati tanpa tanda-tanda kehadirannya, mataku nanar menatap halaman sekolah, bola mataku tertuju pintu gerbang sekolah yang tiangnya sudah kusam, tak ada bocah kurus yang berjalan bergegas setengah berlari menuju kelasnya. Rizal bocah kelas 4 , anak yatim dengan wajah kusam dengan pancaran mata  yang tajam sudah dirindu teman –temannya. Inong selalu bertanya padaku disetiap jam istirahat.

“ Dah lame tak nampak Ijal, mane die bu? Tanya Inong padaku. Aku hanya menatap gadis mungil berambut ikal ini dengan perasaan nelangsa. Hampir seminggu kami tak melihat Ijal, pemuda tanggung  yang gesit dan selalu ringan tangan membantu teman-temannya.

“bile kita nak ke rumah Ijal bu?, mane tau sakit budak tu” ujar Inong tanpa jeda bertanya tentang keberadaan Rizal, temannya belajar dan bermain di sekolah.

“Kita tidak dapat kabar, apakah Rizal sakit atau memang ada hal yang membuat dia tak sekolah lagi”, kamu tak dengar kabar Rizal dari kawanmu yang lain Nong?” tanyaku sambil menatap mata beningnya.Gadis mungil itu menggeleng tanpa senyum padaku, kulihat matanya sedikit buram.

Kami menatap kosong tiang tempat penyender sepeda yang  melintang dan dipakukan di pohon manggis yang terletak di samping ruangan majelis guru,  tempat sepeda yang biasa menyanga dan disenderi sepeda tua Rizal. Masih jernih diingatanku, bocah kecil yang gesit, cerdas dan berkulit legam yang mengayuh sepedanya dengan derit khas yang terdengar dari kejauhan. Tak pernah diam dan selalu disayangi teman-temannya. Benar kata Inong, alangkah baiknya kami ke rumah Rizal dan mencari tau kemana dia selama ini. Tak taukah dia teman-temanya, guru dan tiang penyender sepeda itu merasa kehilangan? Nanar aku menatap pintu gerbang sekolah, tak ada siluet bergerak di depan gerbang itu.

“Nong, besok setelah pulang sekolah kita ke rumah Rizal yok, dah lame betul budak tu tak nampak, ntah hapelah pasal.” tanyaku pada Inong.

“kamu ajak beberapa temanmu, Ahui, Aseng, Ucok, Reni dan siapa saja yang ada sepeda dan ingin ikut  ke rumah Rizal ya. Kalian tau rumah Rizal Nong?” Tanyaku pada gadis manis yang empatinya lebih dari temanya.

“ Tau bu, jawab Inong dengan tegas, letaknya di Desa Mengkapan, kurang lebih 12 km dari sekolah bu.

“ baiklah, besok kita atur jadwal, agar kita bisa ke rumah Rizal lebih awal, agar tidak kemalaman di jalan pada saat kita pulang dari rumahnya.

“baik bu, jawab Inong, dan kulihat dia berdirisambil  membersihkan pasir yang menempel di roknya, dirapikannya jilbab yang menaungi wajah manis mungilnya.” Saya cari budak Aseng same Ucok ye bu?’ ucapnya sambil berlalu meninggalkan aku yang duduk termangu menatap kepergian Inong mencarai temannya. Bangku yang terbuat dari belahan pohon pinang dijadikan tempat favorit bagi anak- anak ini. Karena tempatnya terletak di sudut sekolah dan di bawah rindangnya pohon manggis.

Aku  dan beberapa orang guru,sesekali duduk di bangku ini, ketika anak -anak sedang istirahat keluar untuk bermain.Di bangku kayu ini kami selalu memperbincangkan tumbuh kembang peserta didik dalam membina karakter mereka, pengetahuan meraka dan juga memperbincangkan nasib kami yang berada di daerah yang masih belum tersentuh kecanggihan elektronoik dan kemewahan dizaman kekinian ini. sebagai guru muda, yang tentu saja sangat kami impikan.Listrik yang hanya ada di beberapa wilayah saja. Jalan yang masih berlaspiskan tanah timbun, dan banyak lagi fasilitas yang  dulunya kami  nikmati di ibu kota provinsi, namun di daerah pesisir ini  tak kami dapatkan.

Di bangku ini kami bersama anak- anak biasa bercengkrama, mereka bebas membicarakan apa yang mereka rasakan. Tentang sekolah, pekerjaan rumah, bahkan kegundahan mereka pada saat musim paceklik, karena mereka harus ikut membantu orang tua di ladang ataupun menakik getah , turun melaut dengan ayah maupun paman mereka. Semua mereka lakoni dengan senang hati dan menceritakan kejadian dan pengalaman mereka pada saat istirahat. Kegundahan yang mereka rasakan ketika harus meninggalkan bangku sekolah untuk beberapa hari, dan rindu mereka akan halaman sekolah, ranting pohon manggis, hardikan guru ketika mereka melakukan pelanggaran aturan sekolah. Rindu debaran jantung ketika disuruh ke depan kelas untuk menjawab soal mate matika. Rindu bermain bebas pada saat guru ada yang tidak bisa hadir , dikarenakan banjir melanda beberpa wilayah di daerah pesisir kampung sukajadi.

Seperti janji kami, aku dan Inong serta temanya yang lain, untuk mengunjungi Rizal, yang biasa mereka sapa dengan Ijal. Hari ini Kamis, aku tidak melaksanakan puasa, karena sudah membuat janji dengan anak-anak kelas Rizal, dan aku yakin pada saat kami mengunjungi rumahnya tentu memakan waktu yang cukup lama. Aku membawa 2 kg gula dan susu, kebiasaan orang kampung di sini. Jika meliahat orang sakit. Inong dan kawan-kawannya membawa buah tangan yang ada dari hasil tanah dan perkebunan mereka.(lasia kabran)

Posting Komentar untuk "Pejuang Kecil"