Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Warisan

 


Pagi Minggu yang lembab, aroma tanah basah digenangi air hujan, perasaan sedih dan merasa kehilangan penuh penyesalan. Haris lelaki yang pernah mengisi hari-hariku, siswa yang mencintai gurunya wafat, ya… lelaki yang sangat aku cintai pada saat itu. meninggal dunia akibat kecelakaan lalu lintas sepulang mengantarkan bantuannya untuk sekolahku, 20 Komputer. Lelaki yang bercita-cita menjadi  orang kaya di kampungnya dan kami saling mencintai.

Aku menuju rumah ibunya Haris, rumah yang dulu selalu ku kunjungi, mendengarkan cerita kehidupan Haris dan ibunya yang serba kekurangan semenjak ayahnya meninggal dunia tertimpa balak kayu.  Haris melanjutkan kuliahnya dengan modal tekad dan nekat. Bu Rohana mengirimkan uang yang dikumpulkannya dari upah menjahit untuk membiayai kuliah Haris anak satu-satunya. Aku tau semua perjuangan laki-laki yang  ku cintai itu dari cerita ibunya dan hingga saat ini aku setia menunggunya.

Aku memasuki ruangan tamu rumah bu Rohana, mayat Haris terbujur kaku  ditutupi kain panjang batik, aku coba untuk tidak menangis, namun tangisku pecah ketika bu Rohana meraung dengan memelukku erat, sangat erat.”Laila, kau baca surat wasiat Haris ini, bacalah nak”. Air mataku tak dapat kuhentikan, “Kebun getah 100 ha dan kebun sawit sebanyak 200 ha ku hibahkan untuk Laila dengan ikhlas, dan jaga mak ku Laila, aku yang selalu mecintaimu” jemariku gemetar menutup surat wasiat dari Haris. (Lasia Kabran)

3 komentar untuk "Warisan"